MAKALAH
ILMU SOSIAL KEBUDAYAAN DASAR
SUKU
BADUY
TUGAS INDIVIDU
Disusun
Oleh:
Nama :
Dodi Harsono
NIM :
201343570002
Prodi : Teknik Informatika
FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS
INDRAPRASTA
2015
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas rahmat dan karuniaNya, penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kahasanah Kebudayaan Suku Baduy”,
makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Produktif.
Makalah disusun
berdasarkan hasil observasi yang diharapkan berguna untuk mengembangkan
kreatif, daya pikir dan untuk menambah pengetahuan tentang kebudayaan.
Segala petunjuk,
arahan dan bantuan dari berbagai pihak yang penulis terima dalam menyusun
maklah ini sangatlah besar artinya. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULU
Latar Belakang Masalah...................................................................................................... 1
Rumusan
Masalah................................................................................................................ 1
Tujuan
Penelitian ………………………………………………………………………... 1
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Suku Baduy................................................................................................................... 2
2.2 Pembagian Kelompok Masyarakat Suku Baduy........................................................... 2
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Asal-Usul Kebudayaan Suku Baduy............................................................................. 5
3.2 Mata Pencaharian Suku Baduy..................................................................................... 6
3.3 Hukum Di Dalam Masyarakat Baduy........................................................................... 7
3.4 Segi Pakaian Suku Baduy............................................................................................. 8
BAB IV KESIMPULAN...................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan
bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu
pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak
aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya
ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana gambaran kehidupan Suku Baduy ?
2.
Ada berapa kelompok masyarakat pada suku
baduy ?
3.
Bagaimana Sistem Pemerintahan Suku Baduy ?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam makalah ini akan di jelaskan mengenai
asal usul Suku Baduy, dan perkembangan kebudayaan Suku Baduy.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1
Suku Baduy
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan
oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan
para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab
Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di
bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri
sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai
dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung
mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993 ).
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu
kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten
Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan
mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto.
2.2 Pembagian Kelompok Masyarakat Suku Baduy
Orang Kanekes
masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.
Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes
menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup
mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh
asing dan mayoritas memeluk Islam.Masyarakat Kanekes secara umum terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,
dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah
kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy
Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI).
Kanekes Dalam
adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga
Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan
yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
§ Tidak
diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
§ Tidak
diperkenankan menggunakan alas kaki
§ Pintu
rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau
ketua adat)
§ Larangan
menggunakan alat elektronik (teknologi)
§ Menggunakan
kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri
serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang
disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy
Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah
Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat
kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang
yang telah keluar dari adat dan
wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga
Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
§ Mereka
telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
§ Berkeinginan
untuk keluar dari Kanekes Dalam
§ Menikah
dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri
masyarakat orang Kanekes Luar
Mereka telah
mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap
merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar.
Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak
ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
Proses pembangunan rumah penduduk
Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku,
dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
·
Menggunakan pakaian adat dengan warna
hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci.
Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
·
Menggunakan peralatan rumah tangga modern,
seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
·
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes
Dalam.
Apabila
Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar (Permana, 2001).
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Asal Usul Kebudayaan Suku Baduy
Menurut
kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul
tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai
asal - usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang
mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa
prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat
mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.
Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan
Sunda yang sebelum
keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari
Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai
Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa
wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa
kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan
tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan
pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat
tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi
komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht,
seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli
daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna,
1993b: 146).
Orang Kanekes sendiri pun menolak jika
dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu
kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy
merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi
oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat
pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di
daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli' atau Sunda
Wiwitan (wiwitanasli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka
pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai
mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
3.2 Mata Pencaharian
Suku Baduy
Mata pencarian
masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun
serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren,
tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.
Kepercayaan yang
dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam
ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid
tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di
langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku
Baduy sendiri.
Inti dari kepercayaan
tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang
dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari ‘pikukuh’
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau
perubahan sesedikit mungkin:“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu
beunang disambung”
(Panjang tidak
bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)suku Baduy
memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai pemimpinnya yang
disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan
dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro memiliki
fungsi dan tugasnya masing-masing. Yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro
tanggungan, dan jaro pamarentah.
Jaro tangtu
bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai
macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah
titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9
orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro
duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara
masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu
oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampong.
3.3 Hukum di Dalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan
dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan
pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan
sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke
dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua
atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat
diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran
yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke
dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari.
Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau
berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan
para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan
aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya, yang
namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai
mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian
ala orang kota.
Banyak larangan yang
diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang
memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik
kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan
beristri lebih dari satu.
3.4 Segi Pakaian Suku Baduy
Dari segi berpakain,
didalam suku baduy terdapat berbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada
jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy
Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut
jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak
memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Untuk bagian bawahnya
menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada
bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala
berwarna putih. bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju
kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak
batik. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan
bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Sedangkan, untuk
busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak
terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Mereka mengenakan busana semacam
sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Bagi wanita yang
sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi
para gadis buah dadanya harus tertutup.
BAB IV
Kesimpulan dan Rekomendasi
Orang Baduy tidak
mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah
kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Di dalam proses
pernikahan suku baduy pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak
ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang
tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.untirta.ac.id/berita-112-asal-usul-suku-baduy.html
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.